Perlu Kaji Regulasi Program CSR di Daerah
Perwakilan salah satu perusahaan perkebunan, saat menandatangani penyerahan bantuan CSR berupa iuran Jamkesda untuk warga kurang mampu. --CSR
ARGA MAKMUR RU - Sentralisasi pengelolaan Corporate Social Responsibility (CSR) di Kabupaten Bengkulu Utara (BU). Agaknya perlu dilakukan penyelarasan menyikapi kasuistik yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat di daerah.
Pasalnya, lahirnya Perda Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tanggungjawab Sosial Lingkungan Perusahaan (TJSLP) di Kabupaten Bengkulu Utara (BU), dapat mempengaruhi kualitas hubungan pengusaha dengan masyarakat desa peyangga. Legislatif pernah mengundang Forum TJSLP selaku motor tunggal pengelolaan program atas dana yang bersumber perusahaan-perusahaan di daerah sebesar 3 persen dari laba bersih tahunannya itu.
Pengamat Kebijakan Publik, Dr Elektison Somi, saat dibincangi soal ini. Mengatakan, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau lebih dikenal Corporate Social Responsibility (CSR) adalah Menurut Pasal 1 angka 3 UUPT No. 40 Tahun 2007. Adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat. Baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
"Hal ini seperti diamanatkan dalam Pasal 74 UU PT No. 40 Tahun 2007," jelasnya, kemarin.
BACA JUGA: Batu Bara Karungan dan Kayu Tak Bertuan Ditemukan KHPL Bukit Daun
Aktifitas berusaha dengan beragam implikasi yang ditimbulkan, lanjut Somi. Menjadi ruh atau substansi atas regulasi ini. Penyelenggaraannya, terus dia lagi, selain menjadi satu hal yang strategis. Sekaligus menjaga harmoni lingkar sosial dan lingkungan tempat kegiatan ekonomi beraktifitas.
"Harmoni sosial dan lingkungan inilah yang kemudian menjadi esensi dari kerja-kerja kolaboratif," terangnya.
"Dan CSR ini memiliki cakupan yang sangat luas," sambungnya lagi.
Legislatif, semestinya memiliki peranan strategis dalam mengawasi laju undang-undang yang dijalankan pemerintah melalui produk-produk hukum daerah, mulai dari peraturan daerah sampai dengan rumpun turunannya. Kajian pengawasan, tidak semata dititikberatkan kacamata sempit. Tapi komprehensif.
Semisal, efek domino atas penyelenggaraan sebuah produk hukum daerah di tataran teknis. Maka kemudian, legislatif dapat saja merevisi untuk memberikan penguatan, mendorong penyesuaian dengan dinamika sosial yang terjadi. Termasuk fakta empiris, seperti konflik masyarakat dengan pengusaha yang dapat mempengaruhi trust investor atau iklim investasi di daerah.
Ketua Badan Pembentukan Perda DPRD BU, Tomi Sitompul, S.Sos, pernah bilang. TJLSP yang dilahirkan dari perda tahun 2017 itu, menjadi salah satu obyek evaluasi legislatif. Politisi Golkar itu pun bilang, produk hukum daerah ini, tidak hanya dimaknai adanya landasan secara de jure. Tapi juga harus dimaknai dengan upaya penyelamatan dan responsif, prediktif dan antisipatif.
BACA JUGA:Rakyat Dipenjara, Kenapa PT Agricinal Bisa Bebas Panen Sawit di DAS?
"Sudah tentu akan menjadi obyek kerja di sektor legislasi," singkat Tomi tak menjawab detil, langkah konkret legislatif.
Sementara itu, aktivis sosial daerah, Sony Taurus, menerangkan. Sebuah regulasi tidak hanya dapat menjadi obyek evaluasi dalam komponen pemerintahan di daerah. Bedah regulasi, kata dia, juga dapat dilakukan lewat wadah-wadah bincang masyarakat, selagi memiliki visi yang membangun dalam telaah-telaah yang mendukung penyelenggaraan birokrasi bersih, transparan, akuntabel dan partisipatif.
"Komunitas-komunitas sosial juga menempati posisi strategis, termasuk media massa sebagai motor fungsi kontrol sosial, katalisator persoalan sosial serta fungsi moril di bidang edukasi," pungkasnya. (bep)