Evaluasi R-APBD Mandeg?
APBD--
ARGA MAKMUR RU - Ancaman sanksi administratif hingga keuangan, terbuka kepada motor penyelenggara pemerintahan daerah, ketika APBD tidak diproses sesuai regulasi. Tidak hanya ditegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD).
Rumpun aturan turunan lainnya, seperti ; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2021 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah. Rancangan Peraturan Daerah Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, Rancangan Peraturan Kepala Daerah Tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah. Dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah Tentang Penjabaran Perubahan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, evaluasinya baru dapat dilakukan setelah dokumen-dokumennya diterima secara lengkap dan sah.
Pantauan Radar Utara, di wilayah Provinsi Bengkulu, terjadi dugaan cacat moral dalam pengesahan ABPD TA 2024. Paripurna yang sudah didukung kesepakatan seluruh fraksi yang menyetujui R-APBD disahkan menjadi perda. Justru, tidak dituangkan dalam Dokumen Persetujuan Bersama antara Kepala Daerah dan DPRD.
Penelusuran mendapati, dokumen yang belum lengkap itu, meliputi: Berita acara kesepakatan banggar dan TAPD, Naskah kesepakatan pimpinan dan bupati, Risalah sidang dan SK pimpinan legislatif.
Dalam warta sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik, Dr Elektison Somi, menyampaikan pandangannya, soal dinamika yang acap muncul saat rancang bangun anggaran ini. Versinya, membaca penjelasan pada PP Nomor 12/2019 tentang PKD, sudah dapat menjadi titik balik hostoris, saat hambatan proses pengesahannya.
Dijelaskan Somi, peran-peran eksekutif dan legislatif sudah sangat gamblang. Baik kapan batas akhir APBD wajib disepakati sampai dengan proses-proses pengesahannya. Menurut dia, pandangan akhir fraksi merupakan jejak de facto, adanya kesepakatan pengesahan kedua belah pihak atas R-APBD. Kemudian dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan Bersama antara Kepala Daerah dan DPRD.
"Subyek yang menghambat proses ini, sudah dapat dipetakan. Termasuk sanksi. Pihak mana yang terkena. Ketika prosesnya terhambat. Apakah eksekutif dan legislatif? dapat juga eksekutif saja, pun juga legislatif saja," jelasnya.
BACA JUGA:Dewan Serukan Konsep Pentahelix
Evaluasi peraturan daerah atas APBD, kata Somi, juga diatur mekanismenya. Kelengkapan syarat dan sah, menjadi tolok ukur bagi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) terhadap R-APBD Provinsi, atau pun Gubernur terhadap APBD kabupaten/kota.
Beberapa rumpun aturan, seperti PP 12/2019, Permendagri 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, juga Permendagri 9 Tahun 2021 tentang Tata Cara Evaluasi R-APBD, cukup mengikat. Evaluasi Gubernur, contohnya, paling lama 15 hari setelah diterima dari kabupaten/kota. Penyerahannya pun kepada Gubernur, paling lama 3 hari sejak, disahkannya R-APBD dalam Paripurna Kata Akhir Fraksi atas R-APBD.
"Dengan asumsi, selambat-lambatnya pengesahan APBD adalah satu bulan sebelum dimulainya tahun anggaran berkenaan. Maka limit waktu proses yang dimiliki kabupaten/kota tidak lama lagi," imbaunya.
Maka, Rancangan Perkada APBD, kata dia, harus dilakukan oleh kepala daerah, ketika tenggat waktu itu terabaikan. Catatannya, akan terjadi penerapan sanksi keuangan dari pusat, ketika APBD dilandasi oleh Perkada.
"Sanksinya bisa kedua-duanya; eksekutif dan legislatif. Atau salah satunya. Dan itu, bisa dilihat dari proses-proses pengesahannya," Somi menjelas kisi-kisi bola panas persoalan, dalam sudut pandang hukum.
Menukil paparan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pamolango yang baru saja dilantik Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai Plt Ketua KPK, pernah menjabar beberapa modus operandi dalam praktik koruptif dalam penyelenggaraan birokrasi. Ada beberapa kata yang dipakai dalam berkomunikasi. Selain, kata dia, rentan terjadinya praktik politisasi anggaran.
"Modus komunikasi yang dipakai salah satunya adalah "lampiran," bebernya. (bep)