Menepis Isu Deindustrialisasi

Proses perakitan New CBR250RR di pabrik PT Astra Honda Motor plant 4, Karawang, Jawa Barat. Peningkatan produksi sepeda motor jadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. AHM--

Isu deindustrialiasi menyeruak di ranah industri nasional dalam beberapa tahun terakhir. Sinyalemen itu beriringan dengan fenomena langkanya lapangan pekerjaan formal. Kalaupun angka pengangguran menurun, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2023, sektor pekerja meningkat hingga 60 persen.

 

Seiring itu, pertumbuhan ekonomi juga sempat tersendat lantaran didera masa pandemi Covid-19 (Maret 2020--Juni 2023) dan juga melambatnya perekonomian dunia. Fenomena lain yang menguatkan sinyalemen deindustrialisasi adalah menurunnya sumbangan sektor industri pengolahan atau manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB).

 

Tercatat hingga akhir 2022 hanya sebesar 18,34%, menurun jauh jika dibandingkan pada kuartal I-2014 sebesar 21,26%. Benarkah Indonesia mengalami deindustrialisasi? Bantahan adanya deindustrialisasi itu disampaikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

 

Merujuk rilis Badan Pusat Statistik (BPS) kuartal III-2023, Menteri Agus menyampaikan bahwa sektor industri kembali menduduki peringkat pertama atau penyumbang investasi terbesar yaitu 41,2 persen terhadap realisasi investasi nasional yang sebesar Rp433,9 triliun sepanjang Januari--September 2023. Angka itu naik 18,8 persen dari periode sama pada tahun sebelumnya.

BACA JUGA:Solusi Untuk Ekonomi Sulit, Honda Luncurkan Motor Irit. 1 Liter Tembus 64 Km

"Industri manufaktur tetap tumbuh positif dan mengesankan dibanding dengan industri manufaktur negara tetangga lainnya. Bahkan pertumbuhannya melampaui pertumbuhan ekonomi nasional, ini sekaligus menjadi sumber terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2023," ujar Agus dalam keterangan resmi.

 

Di sisi ketenagakerjaan, sektor industri pengolahan juga mampu menyerap 19,35 juta atau 13,83 persen dari total pekerja. Selain itu, sampai Oktober 2023, industri manufaktur terus berada dalam fase ekspansi. Merujuk angka Indeks Kepercayaan Industri dan Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia, juga terus berada di atas 50,00 atau level ekspansi hingga Oktober 2023.

 

Hasil survei IKI pada Oktober 2023 pun menunjukkan, sebagian besar pelaku usaha masih optimis terhadap kondisi usaha dalam enam bulan ke depan.Tren positif itu juga tecermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang terjaga pada zona optimis sebesar 121,7 pada September 2023.

 

Sebelumnya, pada Juli 2023, S&P Global juga melaporkan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia menunjukkan indeks sebesar 53,3 atau naik signifikan dibandingkan bulan sebelumnya yang menyentuh level 52,5. Data tersebut mengkonfirmasi adanya momentum pertumbuhan yang kuat pada awal triwulan ketiga, didukung oleh peningkatan permintaan. Pertumbuhan permintaan baru yang lebih cepat dan efisiensi menyebabkan peningkatan tajam pada produksi pada awal kuartal ketiga.

 

Akibatnya, perusahaan-perusahaan terus merekrut pekerja tambahan dan meningkatkan aktivitas pembelian mereka, sehingga menyebabkan rekor akumulasi inventaris input pada laju tercepat.

 

Penopang Ekonomi Domestik

Sejumlah indikator tersebut di atas, menunjukkan masih kuatnya sektor industri dalam menopang perekonomian domestik Indonesia mengarah pada arah berlawanan dengan deindustrialisasi dini.  Guna mendukung penguatan industri, pemerintah melalui Kemenperin juga terus mendorong peningkatan produktivitas dan daya saingnya. Sekaligus mendukung terciptanya peluang pasar yang semakin besar bagi produk dalam negeri, baik domestik maupun ekspor.

 

Berdasarkan data BPS, pertumbuhan sektor industri pengolahan pada kuartal III-2023 didukung oleh permintaan domestik yang kuat untuk industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik yang mengalami pertumbuhan hingga 13,68 persen. Peningkatan terjadi terutama pada produksi barang logam.

 

Selanjutnya industri logam dasar yang tumbuh 10,86 persen, didorong permintaan luar negeri terutama untuk produk ferronickel dan nickel matte. Penopang pertumbuhan lainnya yakni subsektor industri alat angkutan (7,31 persen) dengan adanya peningkatan produksi sepeda motor.

 

Subsektor industri barang galian bukan logam juga tumbuh positif sebesar 7,20 persen dengan meningkatnya permintaan domestik, terutama pada produk semen. Sedangkan, sektor industri pengolahan semakin meningkatkan kinerjanya pada triwulan III tahun 2023.

 

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa pada periode ini sektor industri pengolahan tumbuh 5,20 persen (yoy), melampaui pertumbuhan ekonomi yang sebesar 4,94 persen pada periode yang sama.

 

Kontribusi industri pengolahan terhadap PDB Nasional juga masih menjadi yang tertinggi dan meningkat menjadi 1,06 persen dari 0,99 persen pada triwulan III-2022. Data ini cukup menggembirakan, lantaran di tengah penurunan daya beli dan melemahnya nilai tukar Rupiah yang mempengaruhi produksi, industri pengolahan masih terus berkontribusi terhadap perekonomian nasional.

 

Menperin menyebutkan, indikator-indikator tersebut menunjukkan masih kuatnya sektor industri dalam menopang perekonomian domestik Indonesia mengarah pada arah berlawanan dengan deindustrialisasi dini. “Kami akan terus mengupayakan agar sektor manufaktur dapat semakin meningkatkan produktivitas dan daya saingnya, serta mendukung terciptanya peluang pasar yang semakin besar bagi produk dalam negeri, baik domestik maupun ekspor,” pungkasnya.

 

Kontribusi positif

Namun demikian, Menperin menyebutkan bahwa kontribusi industri pengolahan terhadap PDB semestinya bisa jauh lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi apabila beberapa masalah yang solusinya bergantung kementerian/lembaga lain bisa diselesaikan.

 

Sebagai contoh, program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang tidak berjalan dengan baik. Masih banyak industri peserta program HGBT mendapatkan gas untuk bahan baku dan energi di atas USD6 per MMBTU. Selain harga di atas USD6 per MMBTU, pasokannya pun tidak lancar.

BACA JUGA:Pupuk Subsidi dan Bibit Tanaman Masih Jadi Kendala Petani

Hal itu berdampak terhadap daya saing produk, permintaan, utilisasi, dan tenaga kerja. Akhirnya, program HGBT yang tidak berjalan baik ini telah ikut menekan pertumbuhan industri manufaktur.

 

Contoh kedua, pengetatan arus masuk barang impor belum optimal. Saat ini pasar domestik telah dibanjiri barang impor baik yang masuk secara legal maupun ilegal. Banjirnya pasar dalam negeri oleh produk impor telah berdampak terhadap permintaan produk manufaktur, utilitasi industri, dan tenaga kerja industri. Lemahnya ketegasan dan koordinasi antarkementerian/lembaga juga memiliki andil terhadap derasnya arus barang impor masuk ke pasar domestik.

 

“Contoh ketiga, pertumbuhan sektor industri pengolahan bisa meningkat jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional apabila kementerian/lembaga, pemerintah daerah, maupun BUMN/BUMD memaksimalkan realisasi belanja produk dalam negeri. Kalau pemerintah bisa memaksimalkan belanjanya untuk membeli produk dalam negeri maka pertumbuhan industri manufaktur akan jauh lebih tinggi dan kontribusinya terhadap PDB nasional jauh lebih besar,” ujar Menperin.

 

Sumber : Indonesia.go.id

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan