RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Sebelum minyak sawit membanjiri pasar, minyak kelapa adalah pilihan utama ibu rumah tangga di tanah air untuk memasak.
Pamor produk olahan kelapa itu meredup seiring dengan harga di pasar internasional yang melambung.
Di saat yang sama, dengan alasan kultur teknis dan ekonomis lebih cepat menghasilkan, pemerintah condong memberi sokongan bertumbuhnya perkebunan kelapa sawit di pertengahan 1970-an.
Pada 1974, luas perkebunan sawit mencapai 174.000 ha. Selanjutnya berkembang menjadi 200.000-an ha pada awal 1980-an. Kebanyakan adalah tanaman warisan pemerintah kolonial Belanda.
BACA JUGA:Inilah 4 Rekomendasi Mouse Gaming Murah Berkualitas, Buruan di Check Out!!
BACA JUGA:Kenali Sebelum Rusak, Inilah Tanda-Tanda Keyboard Komputer Anda Akan Rusak
Berkat adanya program kredit (PBSN 1 dan 2) serta mulai diperkenalkannya kebun sawit pola perkebunan inti rakyat-transmigrasi (PIR-Trans) pengembangan kelapa sawit sangat pesat.
Hingga pada 2009 luas perkebunan kelapa sawit Indonesia telah mencapai 7,2 juta ha, atau pertumbuhan double setiap tahunnya selama 30 tahun.
Kebun rakyat, baik pola PIR maupun swadaya meliputi jumlah 40 %.
Memasuki tahun 2020, minyak kelapa mulai lagi dilirik masyarakat sebagai pilihan alternatif minyak goreng (migor).
BACA JUGA:Industri Nonmigas di Luar Jawa, Tren Positif Menuju Pemerataan
BACA JUGA:Nih Buat Yang Sering Lupa Password Gmail, 4 Cara Melihat Password Gmail Sendiri Di Leptop Atau HP
Salah satu alasannya adalah harga minyak sawit yang kian hari kian mahal. Pada akhir 2021 misalnya, harga minyak sawit tembus di kisaran Rp18.000–Rp22.000 per liter.
Kesadaran akan kesehatan yang tumbuh di kalangan masyarakat, selain faktor harga, ikut mendorong meningkatnya permintaan minyak kelapa.
Pergeseran pilihan migor ini tentu saja menguntungkan bagi Indonesia, negara yang dikenal sebagai salah satu penghasil kelapa terbesar di dunia.