Kebutuhan dunia terhadap produk minyak nabati asal sawit kini sudah tidak terelakkan lagi seiring dengan terpenuhinya tuntutan dunia terhadap produk minyak sawit yang berkelanjutan. Indonesia termasuk pemasok minyak nabati tersebut.
Setelah masalah pasar dan keberlanjutannya sudah mampu diatasi, masalah keberlanjutan pasokan juga butuh jaminan. Artinya, produktivitas kelapa sawit pun harus berkelanjutan. Persoalannya, seiring dengan umur kelapa sawit, kebanyakan perkebunan, terutama perkebunan milik rakyat harus diremajakan segera. Dalam konteks kepemilikan, perkebunan sawit di Indonesia terbagi dalam tiga klasterisasi, yakni perkebunan yang dikuasai rakyat, perkebunan sawit besar milik negara dan perkebunan sawit besar milik swasta. Data Ditjen Perkebunan Kementan menunjukkan, total luasan lahan sawit di Indonesia sebanyak 16,38 juta hektare. Dari total lahan seluas itu, sekitar 53 persen atau sekitar 8,64 juta diusahakan oleh perusahaan swasta, 42 persen atau sekitar 6,94 juta ha oleh perkebunan rakyat, dan 5 persen, atau sekitar 800.000 dikuasai BUMN. Dari data di atas, porsi pengusahaan perkebunan yang diusahakan oleh rakyat termasuk besar, yakni mencapai 6,04 juta hektare, atau dengan porsi 42 persen. Sayangnya, bila dilihat dari tingkat produktivitasnya, perkebunan yang pengusahaannya dilakukan rakyat termasuk rendah. Faktornya, umur pohon sawitnya kebanyakan sudah tua, perkebunan mereka dikelola dalam skala kecil, bibit unggul kurang, penerapan teknologi yang sederhana, serta tingginya presentase tanaman tua dan rusak. Pemerintah menyadari kondisi itu. Di sisi lain, industri sawit juga menjadi tulang punggung perekonomian nasional, sehingga keberlangsungannya harus terus dijaga. Oleh karena itu, masalah peremajaan menjadi masalah krusial bagi keberlanjutan industri kelapa sawit sehingga produktivitas tanaman tetap terjaga di tengah keterbatasan lahan akibat moratorium. Program peremajaan kelapa sawit tidak juga mudah seperti membalikkan telapak tangan. Peremajaan juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit, mulai pemilihan bibit unggul, pesemaian 3 bulan, pesemaian 9 bulan, dan pemilihan sistem peremajaan. Dalam rangka itu, pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar USD386 juta atau setara dengan Rp6,1 triliun. Anggaran itu disiapkan untuk program peremajaan sawit rakyat (PSR). Tahun ini, pemerintah menargetkan peremajaan seluas 180.000 hektare. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, program PSR ini perlu dilakukan salah satunya untuk meningkatkan produksi minyak sawit mentah dalam negeri. Terlebih, pada 2050, dunia akan memerlukan tambahan 200 juta ton produksi minyak nabati dengan perkiraan bahwa populasi dunia akan mencapai 9,8 miliar jiwa. BACA JUGA:Tata Ulang Perniagaan Gas Tabung Melon "Indonesia telah melakukan penanaman kembali sawit seluas 200.000 hektare sejak tahun 2007 dan seluas 180.000 hektare sedang dilakukan penanaman kembali di tahun ini dengan mengalokasikan anggaran sebesar USD386 juta," ujar Airlangga dalam Indonesia Palm Oil Conference 2023 di Nusa Dua. Menurutnya, minyak sawit merupakan cara yang berkelanjutan dan efisien untuk memenuhi permintaan minyak nabati yang terus meningkat. Apalagi, kelapa sawit tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, melainkan sudah meluas penggunaannya. Bahkan, kini juga sudah sebagai bahan bakar transportasi yang lebih ramah lingkungan, termasuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan. "Indonesia sendiri telah mengembangkan SAF yang dikenal dengan BioAvtur 2.4% atau J2.4," terang Airlangga. Sementara itu, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengatakan, BPDPKS telag menyiapkan anggaran sebesar Rp30 juta per hektare mendukung petani memulai proses PSR. Anggaran tersebut akan ditransfer secara langsung ke rekening petani yang kemudian bisa digunakan oleh koperasi/kelompok petani untuk pembiayaan program PSR. Eddy menyebut, rata-rata setiap tahunya sudah 160 kelompok petani sawit yang mengelola program PSR secara profesional dan mandiri. "Program peremajaan bukan hanya solusi bagi permasalahan kesenjangan keuangan tetapi juga menciptakan akses bagi petani terhadap hubungan pasar," terang Eddy. Perluasan Pasar Selain masalah keberlanjutan produktivitas kelapa sawit, Indonesia kini juga masih menghadapi masalah pasar, terutama tujuan ke Uni Eropa. Bahkan, Uni Eropa baru saja menyetujui undang-undang produk deforestasi. Adanya kebijakan ini tentu dapat berdampak terhadap pasar ekspor komoditas minyak sawit (CPO) Indonesia. Meski bukan tujuan terbesar ekspor CPO, Eropa termasuk pasar yang penting CPO Indonesia. Wajar, pemerintah dan pelaku usaha tengah memutar otak untuk mengatasi masalah pasar itu. Pelaku usaha kelapa sawit kini berusaha melakukan peningkatan ekspor CPO ke pasar Tiongkok pada 2024. Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, para pengusaha berencana mengoptimalkan kembali potensi ekspor ke Negeri Panda. "Tiongkok akan kita tingkatkan supaya balik lagi ke angka 8 juta (ton), karena sebelumnya terjadi penurunan," ujar Eddy. Selain Tiongkok, Eddy mengatakan, peningkatan ekspor produk sawit juga akan menyasar ke negara-negara mitra dagang pasar nontradisional. Di antaranya seperti negara-negara di kawasan Eropa Timur, Asia Tengah, dan Afrika. "Kita akan genjot lagi," ucapnya. Lebih lanjut, Eddy menuturkan bahwa ekspor saat ini sudah didominasi oleh produk sawit yang telah melalui proses penghiliran. Rata-rata produk olahan sawit tersebut dalam bentuk barang jadi maupun barang setengah jadi. Adapun produk penghiliran yang mulai banyak diminati yakni olein dan oleokimia. "Sekarang memang permintaan di produk CPO sudah kecil banget. Nah mereka (negara importer) sekarang (lebih minat) produk yang sudah dihilirisasi," ujarnya. Sumber : Indonesia.go.id
Kategori :