RADAR UTARA - Pewayangan dengan ragam lakon, tidak sebatas melagakan sebuah gambaran, legenda atau situasi-situasi yang pernah terjadi sebelumnya. Bahkan menggambarkan situasi yang akan terjadi di masa depan. Maka menjadi lumrah, saban laga-laga dalam lakon, sesorah atau nasihat hidup dan kehidupan, menyelip di dalamnya.
Nasihat kehidupan itu, bisa saja diserukan seorang Dalang, ketika "goro-goro" atau sesi hiburan. Biasanya, sosok Semar, dimainkan ki dalang, tengah memberikan nasihat pada anak-anaknya seperti Pitruk, Semar dan Gareng.
Tapi, sesorah yang dijumput dari dialeg "Jawa timuran" berarti nasihat itu, bukan cuma melaga saat sesi hiburan wayang; goro-goro, saja. Dalam situasi serius atau genting, yakni Pesewakan Agung.
Laga ini, biasanya merupakan momentum penting dalam lakon pewayangan. Dimana, temu petinggi khayangan yang digambarkan Keluarga Pandawa yakni Punto Dewo, Arjuno, Nakuli, Sadewo, Werkudhoro.
BACA JUGA:Sudut Moral Dalam Laku Memayu Hayuning Bawono
Dalam temu petinggi itu, biasanya menegasi kembali tentang hal-hal yang terdengar sepele, namun memiliki arti yang luas. Bahkan sangat luas dan mendalam. Salah satunya, Pitutur atau Sesorah; Tekun, Teken, Tekan. Tiga kata dalam aksara dengan intonasi yang seolah berkelindan itu, sejatinya salah satu pelajaran dalam pewayangan kejawen yang memiliki relevansi luas dalam hiruk pikuk kehidupan sosial manusia.
Kehidupan yang sejatinya, sebatas menjalankan. Kehidupan yang sejatinya, menunggu mati. Kehidupan yang mestinya "nyawiji" kepada Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dialog singkat di level pemangku kebijakan, namun tidak mudah dalam tatanan terap itu. Acap tergambar ketika Narodho, dewa sekaligus utusan Bethoro Guru yang merupakan tetungguling Dewo atau pimpinan para dewa dan turut hadir Kresno atau Krisna dalam temu pasewakan agung.
Meski begitu, petuah-petuah tersebut, menjadi pakem dalam penyelesaian persoalan hidup, kehidupan dan menuju hidup yang paling abadi : setelah mati.
Dalam balutan seni wayang, sesaroh Teku, Teken, Tekan ini dapat diartikan dengan sebuah kesungguhan atau integritas. Dalam Bahasa Indonesia, tiga kalimat tersebut, dapat diartikan dalam sikap ketekunan, pegangan sikap menuju pencapaian hakiki.
Kita masuk pada apa yang dimaksud dengan Tekun atau rajin ini. Secara umum, kita semua sudah sangat kenal dengan kata ini. Tapi ketika, menggunakan lubuk hati yang paling dalam; bermuhasabah, benarkah mudah untuk menjalankan sikap tekun ini? jawabannya; tidak. Tapi bukan berarti sulit.
Pasalnya, kunci dari tekun sudah cukup gamblang parameter atau indikatornya. Terus ajarkan diri, untuk selalu rajin, disiplin, teliti dan hati-hati dalam semua aktifitas. Bahkan tabiat tekun ini, diyakini mampu mengalahkan kepintaran. Itu terjadi, lantaran tekun cenderung mendasarkan sabar dalam semua urusan.
BACA JUGA:Ulasan Singkat Wejangan Semar : Ojo Gumunan, Ojo Getunan, Ojo Kagetan Lan Ojo Aleman
"Bahkan dalam ajaran agama, Tuhan bersama dengan orang-orang yang bersabar," kata Mbah Wahyudi, menerus wejangan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, aktivis "Maiyahan" yang kelahiran Jombang, Jawa Timur itu. Dia seorang intelektual Muslim di Indonesia. Juga seniman. Mantan wartawan hingga tokoh yang aktif saat era Reformasi di Indonesia.
Lantas, apa kaitannya dengan Teken atau tongkat atau pegangan hidup yang hakiki?, Teken adalah gambaran, betapa lemahnya kodrat kita sebagai manusia. Mahluk sosial yang mestinya tak memiliki sikap sombong.