Bahkan, suara letusannya sampai terdengar ke daratan Australia yang jaraknya sekitar 4.500 km dari lokasi bencana.
Menurut Simon Winchester dalam bukunya Krakatoa: The Day the World Exploded August 27, 1883 disebutkan bahwa suara letusan Krakatau terus berlangsung selama 21 jam tanpa henti.
BACA JUGA:Kapolres Mukomuko Ajak Warga Jaga Kamtibmas Jelang Puasa Ramadhan
BACA JUGA:Media Miliki Peran Penting Penguatan Hasil Pesta Demokrasi
Kekuatan letusannya setara 10.000 kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima, Jepang.
Bukan itu saja, karena akibat letusan selain menenggelamkan gunung hingga ke dasar selat, juga menimbulkan dinding air setinggi hampir 50 meter.
Gelombang raksasa itu tak hanya melenyapkan permukiman warga di daratan pesisir Anyer, Pulau Jawa, melainkan juga sampai ke pesisir Bandarlampung.
Banyak bangunan warga di pesisir Bandarlampung sampai Teluk Betung yang rata dengan tanah termasuk surau yang dibangun oleh masyarakat perantau dari Bugis.
Ribuan orang turut menjadi korban karena tersapu ombak atau terkena awan panas dari Krakatau.
BACA JUGA:Berikut Ini, 8 Manfaat Konsumsi Kurma yang arang Diketahui
BACA JUGA:Tekan Inflasi Beras, Ini Langkah Yang Disiapkan Pemprov Bengkulu
Putih Telur
Selang lima tahun kemudian, dimotori Daeng Sawijaya serta dibantu para saudagar Bugis yang bermukim di Palembang, Banten, dan Bugis, mereka mulai membangun kembali rumah ibadah yang baru di lokasi lama.
Mereka tak lagi mendirikan surau, melainkan sudah berbentuk masjid dengan bangunan permanen.
Mereka menamainya dengan Masjid Al Anwar yang berarti bercahaya dan diharapkan rumah ibadah ini menjadi sumber cahaya kehidupan yang dapat menerangi umat.
Masjid ini juga ditopang oleh enam sokoguru atau tiang di bagian interior dalam bangunan dan melambangkan enam pokok rukun iman dalam Islam.