Namun, Agus menjelaskan, terdapat kebijakan yang belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan sektor industri, antara lain, penerapan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Masih banyak perusahaan industri yang belum menerima manfaat harga gas USD6 per MMBTU.
BACA JUGA:Tutupan Hutan Bengkulu Berkurang, Bencana Ekologi Mengancam
BACA JUGA:Pemkab Mukomuko Siap Hadapi Dampak El Nino, Suhu Panas Menyengat
“Pada 2023, hanya 76,95 persen di Jawa Bagian Barat atau hanya sekitar 939,4 BBTUD dibayar dengan harga USD6,5 per MMBTU, sisanya harus dibayar dengan harga normal sebesar USD9,12 per MMBTU,” sebutnya.
Tak hanya itu, dalam pelaksanaannya masih banyak sektor industri yang memperoleh volume gas lebih rendah atau tidak sesuai dengan jumlah yang sudah menjadi kontrak antara industri dan pihak penyedia. "Kebijakan HGBT memang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang kami inginkan, jauh dari ideal di mata kami. Oleh karenanya, carut marut terkait HGBT ini tentu mengurangi daya saing industri kita,” papar Agus.
Menperin menambahkan, kebijakan lainnya yang dibutuhkan adalah pengendalian impor. “Kami meyakini, PMI kita bisa jauh lebih tinggi apabila pelaksanaan HGBT berjalan baik, dan pengendalian impor berjalan baik.
Sebab, ada opportunity lost yang dihadapi sektor manufaktur kita akibat kedua hal tersebut. Selain itu, perlu didukung kebijakan untuk menjaga ketersediaan bahan baku sehingga sektor industri manufaktur kita tetap berproduksi dengan baik dalam memenuhi pasar domestik dan ekspor,” imbuhnya.
BACA JUGA:Ini Dua Syarat Ekonomi Indonesia Tumbuh Positif di 2024
BACA JUGA: Awali 2024, Kemenhub Lepas Pelayaran Perdana Kapal Tol Laut di Surabaya
Catatan positif PMI Manufaktur Indonesia pada akhir tahun sejalan dengan hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) di Desember 2023 yang telah dilansir sebelumnya oleh Kementerian Perindustrian, dengan mencapai 51,32 poin atau konsisten selama lebih dari 13 bulan sejak diluncurkan IKI, masih berada dalam fase ekspansi.
Kemenperin membidik target pertumbuhan industri pengolahan manufaktur sebesar 5,80 persen pada 2024 atau Tahun Naga Kayu, lebih tinggi dari target 4,81 persen di 2023.
Dalam laporannya, S&P Global menyatakan, ekspansi PMI Manufaktur Indonesia pada bulan terakhir 2023 karena adanya permintaan yang cukup tinggi, termasuk dari luar negeri. Ini mendorong pertumbuhan produksi lebih cepat dan penambahan jumlah tenaga kerja.
Jingyi Pan selaku Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence menyampaikan bahwa sektor manufaktur Indonesia menutup triwulan terakhir pada tahun ini dengan catatan positif karena permintaan baru yang akan datang dan output keduanya mengalami ekspansi pada tingkat solid.
BACA JUGA: Infrastruktur Kerakyatan di Pulau Terluar
BACA JUGA: Wujudkan Kerja SamaTransportasi Publik bagi Kelompok Rentan
Hal ini memperkuat aktivitas pembelian dan mendorong kenaikan berkelanjutan pada ketenagakerjaan di seluruh sektor produksi barang, mendukung perbaikan lebih jauh pada aktivitas perekonomian.