Cerpen : Erna Wiyono
"Setiap perjalanan, betapapun kecilnya, selalu membawa kita lebih dekat kepada diri kita sendiri.”
Machita memeluk erat kotak kayu tua itu. Di dalamnya, lebih dari sekadar surat usang, biji almond kering, dan foto seorang wanita berambut panjang, tersimpan kisah cinta abadi buyutnya kisah cinta Signor Bellini, sang arkeolog petualang, dan wanita yang telah mencuri hatinya. Kisah yang terungkap melalui kata-kata puitis dalam surat "Serdadu Ali," sebuah nama samaran yang menyimpan misteri dan romantisme.
Machita membayangkan buyutnya, muda dan penuh semangat, berpetualang bersama Signor Bellini. Ia membayangkan mereka menikmati bruschetta di Italia, menyaksikan katak-katak kecil menari di pagi India, berpelukan di tepi Gangga yang suci, menghirup aroma brioche di Normandia, dan menikmati grissini panjang di Kamboja, diiringi bisikan “Namaste” yang menenangkan. Setiap detail dalam surat itu, setiap kata yang ditulis penuh cinta, membawa Machita lebih dekat pada kisah cinta buyutnya.
Buku harian kulit tua buyutnya menjadi panduan Machita. Tulisan tangannya yang indah menceritakan petualangan mereka, dari keindahan candi-candi kuno hingga keindahan alam yang menakjubkan. Machita membayangkan buyutnya menulis catatan-catatan itu dengan hati penuh cinta dan kenangan akan petualangan bersama Signor Bellini.
Machita memutuskan untuk melanjutkan penelitiannya, fokus tidak hanya pada Signor Bellini, tetapi juga pada buyutnya. Ia mencari informasi lebih lanjut di perpustakaan universitas, menelusuri arsip keluarga, dan menghubungi beberapa ahli sejarah. Ia berharap menemukan lebih banyak foto, surat, atau catatan harian buyutnya untuk mengungkap detail kehidupan dan kepribadiannya.
Minggu-minggu berlalu dalam demam pencarian. Perpustakaan universitas menjadi rumahnya kedua, bertumpuk buku-buku sejarah, foto-foto usang, dan catatan perjalanan yang mengungkap misteri di balik "Serdadu Ali." "Serdadu Ali" ternyata adalah kode, petunjuk tersembunyi dalam puisi-puisi cinta Signor Bellini. Machita menemukan peta tua, terlipat rapi di antara halaman buku harian buyutnya, peta perjalanan cinta mereka, yang menuntun Machita pada jejak langkah buyutnya dan Signor Bellini.
BACA JUGA:Tuangan Teh Terakhir
BACA JUGA:DOTI LAMAIKA
Setiap lokasi di peta dari Italia yang romantis hingga Kamboja yang eksotis membuka lembaran baru kisah cinta mereka. Machita menemukan foto-foto baru, surat-surat pribadi, dan rekaman suara tua berisi lagu-lagu yang dinyanyikan buyutnya untuk Signor Bellini. Suara buyutnya yang lembut, mengalunkan melodi cinta yang menembus batas waktu.
Peta itu membawa Machita ke desa kecil di pegunungan Himalaya. Di desa terpencil itu, ia bertemu Nenek Amala, teman dekat buyutnya.
"Nenek Amala," sapa Machita, "Saya Machita, cucu dari... dari wanita dalam foto ini." Machita menunjukkan foto usang itu.
Nenek Amala tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Ah, Seraphina... gadis yang pemberani dan penuh cinta. Saya ingat betul saat ia dan Signor Bellini datang ke sini."
Nenek Amala menceritakan kisah-kisah tentang Seraphina, keberaniannya, kecantikan hatinya, dan cintanya yang abadi kepada Signor Bellini. Ia juga menceritakan kotak musik antik, hadiah dari Signor Bellini. Melodi kotak musik itu mengingatkan Machita pada puisi-puisi cinta dalam surat "Serdadu Ali."
Kotak musik itu, dengan melodi mengalunnya yang lembut, menjadi titik balik. Melodi itu, mirip dengan nada-nada puitis dalam surat "Serdadu Ali," membuka jalan menuju pemahaman lebih dalam hubungan buyutnya dan Signor Bellini, bukan sekadar hubungan romantis, tetapi ikatan jiwa yang kuat, dibangun di atas petualangan, kepercayaan, dan cinta tulus.
BACA JUGA:'Alana: A Journey to Love', Novel Karya Mahasiswa Bengkulu