Aku jawab, "Iya kayak tahun baru."
Tapi aku tahu ini bukan tahun baru. Ini tahun hangus. Ini rumah terbakar. Ini neraka dari tumpahan lilin atau kabel. Tapi aku nggak tahu kata-kata itu. Yang aku tahu cuma satu, panas itu bukan teman.
Aku minta adik-adikku ke bawah meja. Meja ini sempet jadi penginapan waktu kita bermain. Sekarang, ini menjadi gua. Tapi gua yang panas. Napasku susah. Dede Jojo melipat lututnya. Dia ketakutan lalu berujar "Kakak.. Kakak. Ibu marah lagi ya sama kita?"
Aku berbohong "Enggak."
BACA JUGA:Kopi Pahit di New York
BACA JUGA:Jejak Cinta
Aku tahu dari ibu bahwa bohong itu dosa. Namun bohong itu bisa membuat Dede tenang juga.
"Ibu sayang kok. Ibu beli es krim jauh. Mungkin macet saat kesini dengan Om Han."
Dede bungsuku, Awa tersandar dengan mata basah.
"Peyihhh" ujarnya cedal.
Napasnya tak beraturan. Aku memegang tangannya. Tangan bayi lembut seperti roti lalu berangsur dingin.
Asap sudah masuk ke kerongkonganku. Aku batuk hebat. Rasanya seperti telan debu. Mendadak aku ingin tidur. Tapi kalau aku tidur, siapa yang menjaga Jojo dan Awa?
BACA JUGA:MALING KONDANG
BACA JUGA:Mendoakan Kematian?
Dari jendela aku melihat warna merah. Seperti mulut naga yang berkobar saat Ibu marah.
Aku bisik, "Ibu, aku masih jagain dede sesuai pesanmu. Tapi ibu jangan lama-lama. Aku nggak kuat lagi."