Dr. Marzoeki Mahdi, Dokter Pejuang Yang Religius
dr. Marzoeki Mahdi--
SEKITAR 140 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 1 Juli 1882, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Het Krankzinnigengesticht Buitenzorg, rumah sakit jiwa (RSJ) Bogor, yang ditujukan untuk merawat orang Belanda dan Eropa yang mengalami masalah kesehatan jiwa. Menurut psikiater senior dari RSJ dr. Marzoeki Mahdi, Bogor, dr. Rahmatsjah Said, Sp.KJ, MARS, RSJ Bogor merupakan rumah sakit pertama di Indonesia yang pada 1 Juli 2002 berganti nama menjadi RSJ dr. Marzoeki Mahdi.
“Kenapa Marzoeki Mahdi dijadikan nama rumah sakit ini? Karena beliau adalah dokter pertama, direktur (rumah sakit) orang Indonesia karena sebelumnya orang Belanda terus direkturnya. Nah, direktur pertama yang orang Indonesia itu beliau (Marzoeki Mahdi,red),” ujar Rahmat.
Diketahui, meski Marzoeki Mahdi bukan orang Bogor atau memiliki darah keturunan Sunda, namun sosoknya cukup dikenal masyarakat Kota Hujan. Salah satunya adalah ketika di masa perjuangan kemerdekaan Marzoeki Mahdi turut berjuang dengan aktif di organisasi pergerakan nasional dan sempat berupaya menolong pahlawan daerah setempat yang tertembak tentara Belanda.
“Dia termasuk tokoh perjuangan, sama dengan Kapten Muslihat. Ketika masa berperang dengan Belanda, Kapten Muslihat tertembak. Sebagai dokter Marzoeki menolongnya, tapi saat itu tidak tertolong dan akhirnya Kapten Muslihat meninggal,” kata Rahmat.
Menurut Gunseikanbu, pemerintahan militer pusat Jepang di masa penjajahan Jepang di Indonesia, dalam buku Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa (1944), Marzoeki Mahdi lahir pada 13 April 1894 di Koto Gadang, Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Dia tercatat sebagai dokter lulusan School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), sekolah pendidikan dokter bumiputera di Batavia (kini Jakarta), dan lulus pada 1918.
Sebagaimana umumnya mahasiswa yang mengenyam pendidikan STOVIA, Marzoeki juga turut aktif di organisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan menjadi anggota Boedi Oetomo. Menurut Gunseikanbu, dia bergabung juga dalam sejumlah organisasi, seperti anggota Pengurus Besar Vereeniging van Indonesische Geneeskundige (VIG), persatuan dokter Indonesia di Jakarta, selama 1918-1921. Perthabin kemudian bergabung menjadi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pada tahun 1921-1931, Marzoeki menjadi anggota Gemeente Regent Semarang sebagai wakil Boedi Oetomo. Saat pindah ke Bogor, dia diangkat sebagai Ketua Boedi Oetomo Bogor pada tahun 1931-1936..
Kiprah Marzoeki lainnya adalah sebagai Ketua Partai Indonesia Raja (Parindra) Bogor dan anggota Pengurus Besar Parindra selama 1936-1942. Dia juga terpilih sebagai anggota Chuo Sangi-In, badan penasihat pemerintah Jepang di Indonesia di masa penjajahan Jepang, bersama tokoh-tokoh lain, seperti Wachid Hasjim, Radjiman Wediodiningrat, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Iskandar Dinata. Marzoeki dilantik pemerintah Jepang sebagai anggota Chuo Sangi-In pada 16 Oktober 1943 di gedung bekas Dewan Rakyat di Pejambon, Jakarta. Menurut Gunseikanbu, Marzoeki juga memimpin Badan Pembantu Prajurit Bogor, yang bertujuan untuk mendukung Tentara Pembela Tanah Air (Peta), pada 17 April 1944.
Meskipun aktif dalam organisasi pergerakan, Marzoeki tidak meninggalkan profesinya sebagai dokter. Beberapa daerah pernah dia singgahi untuk menjalankan kewajibannya sebagai dokter, seperti rumah sakit Glodok, Jakarta dan rumah sakit penjara di Pulau Onrust. Dia juga menjadi assistent leraar (asisten dosen) di STOVIA, Jakarta.
Selama 1921-1924 Marzoeki di tempatkan di Kalimantan dengan jabatan sebagai Kepala Rumah Sakit Muara Teweh, Barito, Kalimantan Tengah. Selanjutnya dia dipindah ke Bogor pada tahun 1924 dan menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Ingatan Bogor hingga tahun 1929. Setelah itu ia kembali dipindahtugaskan ke Rumah Sakit Ingatan Semarang dan menjadi kepala rumah sakit tersebut dalam kurun waktu 1929-1931. Marzoeki kemudian kembali lagi ke Tanah Pasundan dan ditempatkan di daerah Bogor dengan jabatan antara lain sebagai dokter di Rumah Sakit Ingatan Bogor selama 1931-1942 dan dosen ilmu kesehatan di Sekolah Menengah Pertanian Bogor selama 1934-1942.
BACA JUGA:Marie Thomas sang Dokter Wanita Pertama di Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, Marzoeki dua kali menjabat sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Bogor. Periode pertama jabatannya pada kurun waktu 17 Agustus 1945 sampai Oktober 1946. Adapun periode kedua diembannya pada 5 Januari 1950 hingga Desember 1950.
Menurut Rahmat, Marzoeki tidak hanya dikenal sebagai dokter pejuang tetapi juga orang yang taat menjalankan ibadah. Salah satunya, sebut Rahmat, orang-orang sepuh di kawasan Empang, Kota Bogor masih menjaga peninggalan Marzoeki, yakni sebuah jam lemari buatan Jerman merek Junghans yang sampai saat ini masih terpajang di Masjid Agung Empang.
“Jam buatan Jerman itu salah satu kenangannya. Beliau setiap hari Jumat, meskipun harus menggunakan kursi roda, pada pukul 10 sudah ada di masjid itu untuk melaksanakan salat Jumat. Jadi, tokoh-tokoh Islam di Kota Bogor termasuk teman dekat beliau,” demikian Rahmat. (**)