Sampai Kapan Kita Masih Menjadi Negara Agraris?
Nelse Trivianita--
Oleh: Nelse Trivianita
Statistisi Ahli Pertama BPS Provinsi Bengkulu
Indonesia merupakan negara yang dikenal sebagai negara agraris. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki lahan pertanian yang luas, sumber daya alam beraneka ragam dan berlimpah. Luas lahan baku sawah di Indonesia yaitu sebesar 74.639 kilometer persegi berdasarkan data BPS tahun 2019.
Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam mendongkrak perekonomian Indonesia. Selain memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional, sebagian ekspor Indonesia juga berasal dari sektor pertanian. Pada tahun 2022, ekspor dari sektor pertanian mencapai 4,89 Miliar US dolar menurut data BPS.
Meskipun demikian, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) cenderung menurun. Bila kita lihat data distribusi persentase PDRB atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha dari tahun 2012 ke tahun 2022. Untuk sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu sekitar 5 persen. Penurunan ini tidak hanya secara nasional tetapi juga di mayoritas daerah di Indonesia.
Negara agraris juga memiliki arti sebagai negara yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Berdasarkan data BPS per Agustus 2023, lapangan pekerjaan yang menyerap tenaga kerja paling banyak adalah sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 28,21 persen.
BACA JUGA:Pemda Kerahkan Penanganan Darurat, Polda Bengkulu Olah TKP
Meskipun demikian, hasil di lapangan menunjukkan terjadi penurunan jumlah usaha pertanian. Jumlah usaha pertanian di Indonesia berdasarkan data BPS hasil Sensus Pertanian 2023 yaitu sebanyak 29.360.833 unit.
Jumlah ini mengalami penurunan bila dibandingkan dengan kondisi sepuluh tahun lalu dari hasil ST2013, yaitu sebesar 2,35 juta unit atau sekitar 7,42 persen. Jenis usaha pertanian di Indonesia didominasi oleh Usaha Pertanian Perorangan (UTP) yaitu sebesar 99,94 persen dari total usaha pertanian.
Untuk jumlah UTP sendiri, hasil ST2023 menunjukkan penurunan sebesar 7,45 persen jika dibandingkan dengan kondisi UTP hasil ST2013, yaitu dari 31,71 juta unit menjadi 29,34 juta unit. Hasil ST2023 juga menunjukkan terjadi penurunan jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di seluruh subsektor dibandingkan dengan hasil ST2013.
Penurunan terbesar adalah subsektor kehutanan, yaitu berkurang 3,31 juta rumah tangga. Disusul dengan subsektor tanaman pangan yang berkurang 2,18 juta rumah tangga, dan subsektor perkebunan yang berkurang 1,89 juta rumah tangga.
Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan pokok atau pangan akan semakin meningkat. Hal ini tentunya berdampak pada meningkatnya perekonomian dan kesejahteraan karena permintaan terus meningkat. Dengan logika seperti itu otomatis akan membuat banyak orang tertarik dan berbondong-bondong untuk menjadi petani termasuk anak mudanya.
Namun pada kenyataannya tenaga petani di Indonesia masih didominasi oleh petani pada rentang usia 45-64 tahun. Minat pemuda bekerja di sektor pertanian terlihat rendah jika dilihat dari data jumlah petani berdasarkan kelompok usia.
Berdasarkan hasil ST2023, petani milenial yang berumur 19–39 tahun, baik menggunakan maupun tidak menggunakan teknologi digital, sebanyak 6.183.009 orang atau hanya 21,93 persen dari total petani di Indonesia yang sebanyak 28.192.693 orang. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pedoman Gerakan Pembangunan Sumber Daya Manusia Pertanian Menuju Lumbung Pangan Dunia 2045. Petani Milenial merupakan petani berusia 19 tahun sampai 39 tahun, dan/atau petani yang adaptif terhadap teknologi digital.
Teknologi digital mencakup penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) modern, penggunaan internet/telepon pintar/teknologi informasi, penggunaan drone, dan/atau penggunaan kecerdasan buatan. Petani, dalam hal ini, adalah UTP yang hanya berusaha pada subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Berkurangnya jumlah petani dan rendahnya minat pemuda akan sektor pertanian perlu menjadi perhatian, terutama karena Indonesia adalah negara agraris. Bila jumlah petani terus menurun atau bahkan sangat sedikit dan tidak ada regenerasi, masihkah Indonesia menjadi negara agraris nantinya?
Bila kita lihat dari angka NTP (Nilai Tukar Petani) yang dikeluarkan oleh BPS, memang kesejahteraan petani kurang terjamin. NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan.
BACA JUGA:Senyum Manis di Balik Air Mata
NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Bila NTP di atas 100 maka dapat dikatakan petani untung, namun bila di bawah 100 maka petani merugi.
Meskipun angka NTP masih secara umum masih di atas 100, namun angka tersebut cenderung terus menurun. Selain itu, Nilai NTP untuk tanaman pangan di Indonesia cenderung di bawah 100 atau artinya petani tanaman pangan cenderung merugi.
Panjangnya rantai perdagangan menjadi salah satu penyebab meruginya petani. Untuk menjual hasil pertanian, petani harus melalui beberapa tengkulak dan pedagang sebelum sampai ke tangan konsumen. Inilah yang membuat barang kebutuhan pokok (hasil pertanian) mahal di pasaran, tetapi petani tidak bisa merasakan keuntungannya.
Keadaan ini mungkin menjadi salah satu penyebab semakin turunnya minat masyarakat terutama pemuda terhadap sektor pertanian. Mungkin saja generasi muda menganggap menjadi petani kurang atau bahkan jauh dari kata sejahtera dan masa depan menjadi petani tidaklah menjanjikan. Hal ini mungkin sepele, tapi ini perlu mendapat perhatian pemerintah. Karena jika tidak diperhatikan, sampai kapan kita masih menjadi negara agraris?