Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H
Fileski Walidha Tanjung -Fileski Walidha Tanjung -
oleh Fileski Walidha Tanjung
Indonesia sedang dilanda defisit kebudayaan. Ungkapan ini, sebagaimana pernah dikatakan oleh Prof. Djoko Saryono, seolah menggema sebagai lonceng pengingat atas apa yang semakin terlihat: budaya kita kini tergadai di antara kebutuhan pragmatisme dan nilai yang kabur.
Di tengah hingar-bingar dunia seni yang selalu menjadi cerminan paling jujur dari masyarakatnya, sastra berada di persimpangan, bertahan di antara idealisme yang rapuh dan tuntutan zaman yang materialistis.
Dan di sinilah prinsip sederhana 5W-1H tak sekadar menjadi formula analitis, tetapi justru membuka tabir tentang “siapa yang bayar” dan “siapa yang dibayar” dalam pertarungan eksistensi kebudayaan.
Di masa mahasiswa, saya begitu idealis. Berbicara tentang uang dalam berkesenian adalah hal tabu, nyaris dianggap dosa.
BACA JUGA:Kembali ke Laut
BACA JUGA:Ibu Sambung
Sastra, bagi saya kala itu, adalah ruang sakral yang tak layak dicemari pertimbangan finansial. Saya bersumpah pada diri sendiri bahwa kelak ketika saya telah memiliki penghidupan dari pekerjaan lain, saya akan tetap menjaga kesucian niat itu.
Namun, seperti bayangan hantu di malam sepi, janji idealisme itu kini menghantui saya.
Saat saya berkaca, dosa-dosa itu muncul dalam bentuk kegagalan memahami apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh sastra: penghargaan yang nyata, bukan sekadar tepuk tangan hampa.
Lihatlah dunia musik. Di sana, roda ekosistemnya berjalan dengan mulus, meski tetap berputar dalam logika pasar. Seorang siswa les musik membayar untuk belajar. Ikut coaching class, bayar.
BACA JUGA:GUBUK KECIL DAN RINTIK HUJAN
BACA JUGA:LELANANGE JAGAD MERINGKUK DI KOSAN
Menonton konser, bayar. Dan ketika keahlian itu terasah, dia akan diajak job musik dan mendapatkan bayaran pula. Kemudian, siklus berlanjut: membuka kursus musik, menjadi guru musik, tampil di acara besar atau kecil, semua dihargai dengan uang.
Di sinilah musik menjadi profesi yang bukan hanya bernilai estetis, tetapi juga bernilai ekonomis. Bayaran, dalam konteks ini, bukanlah sesuatu yang vulgar, tetapi wujud konkret dari penghargaan atas keterampilan dan kerja keras.