MEMASUKI area Tempat Penimbunan Pabean (TPP) DJBC, Kawasan Industri Jababeka III, Bekasi, Jawa Barat, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan rombongan menyaksikan tumpukan barang yang menggunung.
Selaku tuan rumah, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan, barang-barang tersebut adalah Hasil Operasi Penegakan Hukum Gabungan Bareskrim Polri, Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Ditjen PKTN Kementerian Perdagangan (Kemendag). Total ada sekitar 634 bal pakaian bekas impor. Nilainya sekitar Rp60 miliar. Operasi penegakan hukum yang dilakukan pekan kedua Oktober 2023 itu mencakup dua lokasi, yakni Pasar Senen, Jakarta, dan Pasar Gedebage, Bandung. Aksi tersebut merupakan bagian pengawasan pemerintah di tengah maraknya barang-barang impor yang membanjiri pasar domestik. Terutama, kata Menkeu Sri Mulyani, barang-barang yang berdampak negatif bagi industri di dalam negeri, khususnya barang-barang tekstil dan produk tekstil (TPT). “Pada periode antara 10--15 Oktober 2023 Direktur Jenderal Bea dan Cukai juga bersama dengan Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tata Niaga (PKTN) di bawah Kementerian Perdagangan dan Bareskrim Polri telah melaksanakan operasi bersama," jelas Sri Mulyani. Selain itu, lanjut Sri Mulyani, hasil operasi tersebut juga menemukan 53.030 lembar sajadah senilai Rp1,8 miliar. Asal sajadah tersebut adalah Turki. Barang tersebut masuk wilayah RI tidak dilengkapi dokumen impor. Berbeda dengan produk tekstil yang dimusnahkan, oleh pemerintah, sajadah asal Turki ini dihibahkan kepada Pemerintah Daerah Bekasi dan kepada tokoh-tokoh masyarakat. “Ini kan masih bisa digunakan untuk sajadah ini, dengan demikian masih bisa dimanfaatkan," kata Sri Mulyani. Serbuan Barang Impor Hasil temuan barang ilegal itu pun dimusnahkan. Langkah itu dilakukan, jelas Menko Airlangga, sebagai bagian upaya pemerintah memproteksi industri di dalam negeri. Sesuai arahan Presiden Jokowi, pemerintah saat ini mulai memperketat pengawasan arus masuk barang impor ke pasar dalam negeri. Pengaturan barang impor menjadi isu hangat karena banyaknya desakan untuk mengatur perdagangan luar negeri tersebut yang berdampak pada produk UMKM Indonesia. Pasalnya, barang impor tersebut menggerus UMKM yang kalah saing dengan produk impor yang memiliki harga jauh lebih murah. BACA JUGA:Kinerja Kinclong Pacu Investasi dan Performa Ekspor Merujuk paparan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, Indonesia telah banjir impor yang cukup signifikan. Sejak 2017, sebanyak 6,1 juta dokumen barang kiriman (Consignment Notes/CN), naik lebih dari tiga kali lipat menjadi 19,6 juta pada 2018. “Bahkan 2019 terjadi peningkatan yang cukup tinggi dengan 71,5 juta dan cenderung stabil hingga 2022 dengan rata-rata 61 juta barang. Luar biasa!” tulisnya dalam @prastow. Meningkatnya laju bisnis yang ditandai melonjaknya pengiriman barang impor melalui penyelenggara pos/ekspedisi tersebut, menjadi dasar terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 96/2023 atas perubahan PMK 199/2019. Poin dalam PMK tersebut, antara lain, kewajiban kemitraan PPMSE dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) melalui pertukaran data e-catalogue dan e-invoice. Selain itu, juga terdapat penambahan komoditas yang dikenakan tarif pembebanan umum atau Most Favoured Nation (MFN). Pemerintah menetapkan tarif bea masuk MFN untuk delapan komoditas, yakni tas (15-20%), buku (0%), produk tekstil (5-25%), alas kaki/sepatu (5-30%), kosmetik (10-15%), besi dan baja (0-20%), sepeda (25-40%), dan jam tangan (10%). Proteksi Industri Dalam Negeri Pada sisi lain, sekalipun ada pengetatan, masih kata Menko Airlangga, pemerintah menjamin kelancaran arus bongkar muatan di pelabuhan. Dwelling time pun tidak terganggu. Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga mengusulkan lebih dari delapan komoditas agar dikenakan larangan terbatas (lartas) impor lewat skema pengawasan border. Delapan komoditas tertentu tersebut, di antaranya pakaian jadi, mainan anak-anak, elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil sudah jadi lainnya, obat tradisional dan suplemen kesehatan, serta produk tas. Pengawasan yang sifatnya post-border diubah menjadi pengawasan di border, dengan pemenuhan persetujuan impor (PI) dan juga laporan surveyor (LS). Dari total sebanyak 11.415 HS, terdapat ketentuan tata niaga impor (larangan/pembatasan atau lartas) terhadap 6.910 HS (sekitar 60,5%) dan sisanya sekitar 39,5% merupakan barang nonlartas. Pengajuan lartas sejumlah barang itu tidak lepas dari fakta, banyaknya barang impor yang memenuhi pasar domestik dan platform digital. Serbuan barang impor, sejauh ini ditengarai telah memukul sektor industri di dalam negeri. "Sektor yang selama ini sangat terpukul yaitu UMKM, kosmetik, kemudian juga tekstil, pakaian, mainan anak-anak. Nah ini yang kita ketatkan," katanya. Jangan sampai industri dalam negeri, industri kecil menengah (IKM) yang pasarnya besar, menurut Airlngga, dibanjiri oleh barang dari luar negeri, yang pasarnya di luar negeri sedang tumbuh. “Ini akan diproteksi oleh pemerintah," tegas Airlangga. Pengetatan pengawasan impor dilakukan dengan mengubah post-border menjadi border, dengan pemenuhan Persetujuan Impor (PI) dan juga Laporan Surveyor (LS). Di mana, dari total sebanyak 11.415 HS, terdapat ketentuan tata niaga impor larangan terbatas (lartas) terhadap 6.910 HS atau sekitar 60,5% dan sisanya sekitar 39,5% merupakan barang nonlartas. BACA JUGA:Strategi Melesatkan Udang ke Eropa dan Tiongkok Dari 60,5% komoditas yang terkena lartas tersebut, sebanyak 3.662 HS (32,1%) dilakukan pengawasan di border dan sebanyak 3.248 HS (28,4%) dilakukan pengawasan post-border. "Dengan perubahan ini ternyata setelah dipelajari tidak mengubah dwelling time. Jadi, ini merupakan hal yang baik. Tentu ini dengan sinergi antara kementerian, ditindaklanjuti oleh Satgas Pengawasan Impor, yang juga ditindaklanjuti konkret di lapangan," jelas Menko Airlangga. Ini bukti nyata perhatian serius pemerintah terus melindungi industri dalam negeri dan UMKM dari ancaman barang impor ilegal. Hal ini juga merupakan hasil yang sangat baik dari koordinasi dalam implementasi kebijakan pengetatan impor. Selain lartas, Kemenperin juga mengatur area bermain (playing field) bagi industri di kawasan berikat. Mereka yang ingin menjual produknya di pasar domestik dengan melepas fasilitas-fasilitas yang didapatkan, di mana hal ini perlu juga diawasi secara ketat. Hal ini juga dikarenakan Kemenperin sampai saat ini belum memiliki akses data yang cukup valid terkait kuantitas produk dari kawasan berikat. Jika industri yang berada di kawasan berikat yang ingin menjual produknya ke dalam negeri, maka harus diciptakan playing field yang sama antara kawasan berikat dengan nonberikat agar tercipta fairness. Dengan demikian, industri di kawasan berikat tidak menjadi predator bagi industri di luar kawasan berikat yang tidak menerima insentif yang sama. Dalam upaya menetapkan kebijakan, diperlukan data dan informasi yang tepat. Untuk itu, Kemenperin membuat studi sendiri untuk menetapkan jumlah kawasan berikat di Indonesia. "Ini menjadi problem, kalau tidak terbuka satu sama lain terkait data, Kemenperin sebagai pembina industri tidak bisa melakukan tugas secara maksimal," jelas Menteri Perindustrian Agus Gumiwang. Sumber : Indonesia.go.id
Kategori :