Mendorong Tumbuhnya Ecotourism Berbasis Desa

Minggu 14 Jan 2024 - 20:57 WIB
Reporter : Debi Susanto
Editor : Ependi

Penggunaan bahasa Inggris sebagai bagian bahasa pengantar warga dunia sudah menjadi keniscayaan. Lantaran itulah, urgensi penguasaan bahasa itu telah menjadi kesadaran bagi anak muda Indonesia.

 

Pentingnya penguasaan bahasa asal Inggris memicu lahirnya kreativitas pembentukan Kampung Inggris Pare, Kediri. Di lokasi itu, saat musim libur tiba, berbondong-bondong anak muda datang menambah kemampuannya berbahasa Inggris.

 

Di kampung itu, penyelenggaraan kursus bahasa Inggris kini tumbuh bak cendawan di musim penghujan. Setidaknya, kini ada 200 lembaga kursus bahasa Inggris di sana, dengan fasilitas yang disediakan dengan cukup serius. Jadi selain kelas untuk mengajar, ada juga fasilitas-fasilitas pendukung lain, termasuk penginapan.

 

Ekonomi serkular benar-benar terjadi di Kampung Inggris Pare. Kampung itu pun hadir sebagai contoh nyata dari lahirnya kreativitas warga.

 

Pola ekonomi serupa itu yang kini memang didorong oleh pemerintah. Setiap kampung di Indonesia diharapkan mampu menciptakan kreativitas, dengan mengedepankan pendekatan lokal (local wisdom) demi menggerakkan ekonomi.

 

Dalam konteks mendukung dan mewujudkan ide dan kreativitas sejenis, pemerintah desa kini tersedia dana desa senilai Rp2 miliar, sesuai dengan bunyi PMK nomor 201/PMK.07/2022 tentang Pengelolaan Dana Desa.

 

Masyarakat bisa mengoptimalkan manfaat dana desa dan lebih kreatif mengembangkan ekonomi desanya sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Bisa saja bentuknya adalah desa wisata atau desa kreatif.

 

Apa perbedaan kedua penyebutan itu? Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan. Perbedaannya hanya dari sisi fungsinya. Soal pemerintah desa, pemerintah mengaturnya melalui UU nomor 6 tahun 2014. Kemudian, Permendagri nomor 84 tahun 2015, terutama Bab III Pasal 11 di Ayat (1) sampai (5) mengatur tentang pengkategorian struktur pemerintah desa berdasarkan tingkat perkembangan desa.

BACA JUGA: Saatnya Industri Kecil Unjuk Diri

Mengacu pada Pasal 11, organisasi pemerintah desa disesuaikan dengan tingkat perkembangan desa, yaitu desa swasembada, swakarya, dan swadaya.

 

Yang dimaksud dengan desa swadaya adalah desa dengan potensi besar, namun belum dapat dimaksimalkan dengan tepat. Sementara itu, desa swakarya adalah desa yang terbilang lebih maju dan mampu menerima pengaruh dari luar.

 

Terakhir, desa swasembada adalah desanya sudah lebih maju, baik masyarakatnya, sudah mengenal pendidikan dan teknologi, infrastruktur desa sudah maju. Tak jarang ditemukan, administrasi desa di sana pun telah didukung dengan aplikasi layanan.

 

Lantas masuk dalam kategori mana kah desa wisata atau desa kreatif? Bisa jadi desa wisata atau kreatif masuk katagori desa swasembada, desa yang sudah maju, baik masyarakatnya, pendidikannya, dan infrastukturnya, bahkan ekonominya, sehingga masyarakat setempat sudah mampu mengelola potensi ekonomi daerah setempat.

BACA JUGA: Membidik Target Ambisius Industri Pengolahan

Menurut catatan Kemenparekraf, kementerian itu mencatat kini terdapat 3410 desa wisata dari 43 provinsi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.831 desa wisata yang tergabung dalam jejaring desa wisata. Sementara itu, jumlah desa kreatif, ada sebanyak 125 desa.

 

Indonesia sebagai negara kepulauan dan tropis tentu banyak sekali yang masih bisa digali, termasuk dari wilayah desa. Mereka bisa mengoptimalkan atau mengembangkan desa wisata misalnya, dengan menjual keindahan alam setempat dan kearifan lokalnya.

 

Begitu juga dengan banyaknya bermunculan kampung-kampung kreatif. Beberapa di antaranya, bahkan telah dikenal oleh para wisatawan mancanegara, seperti kampung perajin keris di Madura. Kampung yang berlokasi di Desa Aeng Tong-tong, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Madura, itu merupakan satu-satunya desa di Indonesia yang hampir 100 persen warganya adalah pembuat keris (Empu). Bahkan, pada 2014 kampung kreatif tersebut dinobatkan UNESCO sebagai satu-satunya desa wisata dengan Empu terbanyak di dunia.

 

Demikian pula dengan Kampung Batik Laweyan (Solo). Kampung Laweyan bahkan kini menjadi kampung kreatif incaran wisatawan saat liburan ke Solo, Jawa Tengah. Sesuai dengan namanya, Kampung Batik Laweyan adalah sebuah kampung yang mayoritas warganya adalah perajin batik.

 

Tentu masih banyak model kampung kreatif seperti yang disebutkan di atas. Selain itu, ada model yang berbeda yang juga cukup menarik untuk diperhatikan. Adalah desa kreatif bernama Tlilir di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, yang mampu menggabungkan potensi lokal, baik cita rasa seni, dan budaya, dalam bentuk festival.

 

Itulah yang dilakukan masyarakat DTlilir dengan kegiatan Tililir Art & Cultural Festival. Festival diadakan pada 1--3 September 2023 mengangkat tema "From Village to The World" dengan latar belakang pemandangan Puncak Gunung Sumbing.

BACA JUGA:Koperasi Inovac Ekspor Minyak Nilam Aceh Senilai Rp 1 Miliar Ke Prancis

Festival ini terbilang unik karena panggung maupun sebagian penonton berada di atas atap rumah-rumah warga yang sehari-harinya biasa digunakan untuk menjemur tembakau. Temanggung sendiri merupakan daerah penghasil tembakau dan Tlilir juga dikenal sebagai desa penghasil tembakau terbaik dengan produk unggulan tembakau Srintil.

 

Ihwal kreativitas warga desa dalam menggagas Tlilir Art & Culture, Kabupaten Temanggung, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno memberikan sambutan hangat. "Saya berharap dengan adanya dukungan dan kolaborasi bebagai pihak, Tlilir Art & Culture Festival menjadi momen tak terlupakan bagi seluruh peserta dan pengunjung terhadap desa tembakau Tlilir," ucap Menparekraf dalam sambutannya secara virtual.

 

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Biro Komunikasi Publik Kemenparekraf/Baparekraf I Gusti Ayu Dewi Hendriyani yang hadir secara langsung dalam sambutannya di lokasi festival menyampaikan, event seperti festival budaya merupakan bagian dari akses, atraksi, dan amenitas (3A) dan menjadi unsur penting untuk memajukan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif di Indonesia.

 

Dia juga menilai, event festival Tlilir sebagai wujud inovasi dan adaptasi terhadap tren perubahan sikap wisatawan pascapandemi dalam berwisata yang bersifat personalize, customize, localize, dan smaller in size.

 

“Wisatawan pascapandemi cenderung lebih menyukai aktivitas pariwisata luar ruangan atau outdoor, seperti di Tlilir cocok untuk pengembangan desa berbasis ecotourism,” ujarnya. (*)

 

Sumber Indonesia.go.id 

Kategori :

Terkait