Cerpen Karangan: Gusti Ayu Gayatri
Sudah sekian lama aku bersamanya. Menjalani berbagai kisah yang yang tak mungkin bisa kulewati bersama siapapun. Suka dan duka kita lewati bersama. Senyumnya adalah semangat bagiku. Kesedihannya adalah kesedihanku. Yang jelas, aku tak ingin melewati sedetikpun waktu tanpa bersama dia. Dia adalah bagian hidupku. Dia segalanya bagiku. Tak ada yang bisa menggantikan posisinya di hatiku. Dia adalah saudaraku satu-satunya. Dia adalah Ranty, kakakku.
Kami adalah dua bersaudara yang sangat berbeda. Kak Ranty sangat menyukai hal-hal yang berbau feminim. Rok, bunga, warna pink, gelang, dan kamarnya yang diisi dengan berbagai hiasan. Tak hanya itu, kak Ranty juga memiliki rambut yang panjang sepinggul yang selalu tergerai indah. Ya, dan tentunya kakakku ini sangat cantik dan feminim. Jauh berbeda denganku. Semua karakter yang dimiliki kakakku sangat berlawanan denganku. Aku lebih simple, tidak suka berlebihan, tak suka warna pink, dan kamarku tak berisi hiasan. Yup, hanya kamar yang sederhana tidak seperti kamar perempuan pada umumnya. Walaupun begitu aku dan kakakku adalah dua insan yang tidak dapat dipisahkan. Semua yang dimiliki kakakku belum tentu aku miliki. Sempat terlintas di benakku, terkadang aku merasa iri dengan semua yang dimiliki kakakku. Parasnya yang begitu cantik dan anggun. Bagaimana tidak…? Kakakku adalah sosok yang begitu feminim. Sedangkan aku, adalah anak perempuan yang tidak ada rasa anggun-anggunnya sedikitpun.
Namaku Nicole. Aku dan kakakku bersekolah di sekolah yang sama. Sekolah internasional di Bandung, atau lebih dikenal dengan SMA Nusantara. Aku duduk di bangku kelas X IPA 2. Sedangkan kak Ranty duduk di bangku kelas XI IPA 1. Usiaku dan dia hanya berbeda satu tahun. Aku belum begitu lama menjadi anak SMARA (panggilan untuk anak SMA Nusantara) jadi aku belum terlalu mengenal sekolah ini. Bila ada sesuatu, aku masih sering bertanya pada kak Ranty. Sekolah ini adalah sekolah yang memiliki bangunan yang mewah. Sungguh menyenangkan bersekolah di sini. Guru-gurunya baik dan ramah. Begitu juga dengan teman-temanku. Mereka adalah teman seperjuanganku di sini yang selalu ada untukku. Ada Tyas, Nurishtia, Kirana, Salsa, Dena dan Bintang. Mereka sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Kak Ranty juga senang terhadap mereka. Kak Ranty menganggap mereka sangat baik dan sayang terhadapku. Kita selalu bersama, yah seperti lem dan kertas, nempel.
Tak terasa satu semester aku lalui bersama teman-temanku. Kini aku mulai menginjak semester dua. Seperti biasa, pada awal semester dua ada kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh Smara. Semua siswa diberi arahan mengenai kemah yang akan dilaksanakan selama dua hari di puncak. Panitia kemah menghimbau agar semua siswa membawa tenda dan perlengkapan kemah lainnya. Aku dan kak Ranty tampak sibuk dengan kesibukkan kami masing-masing. Aku menyiapakan segala sesuatu yang diperlukan selama kemah nanti. Begitu juga dengan kak Ranty.
Huhhh.. setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya kami semua tiba di puncak, tempat kami berkemah. Sejenak kami semua beristirahat untuk menghilangkan lelah. Sungguh panorama alam yang begitu asri. Sejuk, bersih, dan suasananya nampak begitu tenang. Baru saja beristirahat sebentar, kami semua diminta untuk mendirikkan tenda. Kebetulan sekali aku dan kakakku satu tenda. Tapi, setelah kami mengeluarkan tenda lipat, kami berdua kesulitan saat mendirikan tenda. Beruntung ada kakak kelas yang baik, yang mau membantu kami untuk mendirikan tenda. Ia adalah seorang ketua OSIS sekaligus pramuka senior. Dia begitu berwibawa, tegas, baik, dan kharismatik. Reza namanya.
Setelah tenda berdiri, kak Reza berlalu begitu saja. Aku dan kak Ranty sempat saling memandangi. Tapi, tak begitu lama kak Ranty segera menyusul kak Reza untuk mengucapkan terimakasih. Mereka berdua sempat berbincang-bincang. Aku hanya bisa memandangi mereka berdua. Sepertinya sejak pertemuan pertama mereka di puncak kakakku mulai menyimpan rasa pada kak Reza. Senang rasanya melihat kakakku bahagia. Nampaknya mereka berdua semakin akrab. Tapi, pada saat kami berkemah di puncak, kakakku sempat flu. Awalnya aku kebingungan, tapi beruntung aku ingat membawa obat dari rumah.
Tak lama kakakku flu, akhirnya kak Ranty sembuh. Tak terasa kegiatan ini telah usai. Aku dan kakakku akan dijemput oleh supir pribadi kami, Pak Angga. Dalam perjalanan pulang, kami mampir ke apotek untuk membeli obat, sekedar untuk berjaga-jaga. Akhirnya, aku dan kakak sampai di rumah. Besok aku dan kak Ranty kembali menjalani aktifitas belajar kami di sekolah tercinta SMANRA.
Pagi itu, aku dan kakakku akan berangkat ke sekolah. Pak Angga sudah menunggu di mobil. Aku dan kakak begitu bersemangat. Kami berdua bergantengan tangan. Tiba-tiba kakak melepas tanganku. Ia berlari ke toilet, dan aku segera menyusul kak Ranty. Sepertinya kakak sedang tidak enak badan. Kakak muntah-muntah. “kak Ranty nggak enak badan ya? Lebih baik kakak istirahat dulu. Nanti aku sampaikan kepada wali kelas kakak..”, kataku pada kak Ranty. “nggak kok dik, kakak baik-baik aja. Ayo kita berangkat ke sekolah! Nanti telat lho.”, sambung kak Ranty. Akhirnya kami berdua tiba di sekolah.
Kini kak Reza bersahabat dengan kak Ranty. Mereka berdua kelihatan semakin dekat dari hari ke hari. Melihat keakraban mereka berdua aku sangat senang. Aku tahu, kak Ranty menyukai kak Reza. Hubungan mereka berdua sudah seperti adik dan kakak, bahkan lebih.
Saat pulang sekolah aku mencari kak Ranty ke kelasnya. Kak Reza sepertinya sudah menunggu. Saat kami bertiga dalam perjalanan pulang, tiba-tiba saja kakak berhenti di tengah jalan. Katanya, kakak tidak bisa melihat dengan jelas. Kak Ranty muntah-muntah lagi dan aku begitu panik. Begitu juga dengan kak Reza. Sepertinya kak Reza juga tahu kalau belakangan ini kak Ranty sering sakit. Aku segera menelepon Mama. Tak berapa lama kemudian, Mama datang. Kak Ranty pindah ke mobil Mama untuk ke rumah sakit. Kak Reza sepertinya sangat khawatir dengan keadaan kak Ranty. Tapi, kak Reza tidak bisa ikut ke rumah sakit. Aku, kakak, Mama, dan pak Angga pergi ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit aku dan Mama tidak diperbolehkan masuk selama kakak menjalani pemeriksaan. Lama kami menunggu, akhirnya dokter memanggil Mama dan diminta ke ruangannya. Sementara aku menemani kak Ranty.
Setelah lama menunggu Mama, kami dipersilahkan pulang. Sejak saat itu, aku merasa penasaran dengan apa yang dialami oleh kakakku belakangan ini. Aku berusaha mencari tahu sendiri. Karena aku merasa Mama tidak mau memberitahu mengenai masalah ini. Kata kak Ranty, belakangan ini ia sering merasa nyeri kepala, sering muntah, dan penglihatannya menjadi kurang jelas. Aku juga merasa kakak pernah mengalami depresi dan kehilangan spontanitas. Dari gejala tersebut aku mencari tahu sendiri. Astaga… Tak kuat rasanya aku menghadapi kenyataan ini. Berdasarkan data yang aku miliki, kakak mengidap penyakit kanker otak. Tapi aku tak berani mengambil kesimpulan. Ditengah perasaanku yang sedang kebingungan, ingin rasanya aku pergi ke kamar kakak. Kutemukan selembar kertas di bawah bantal kakak. Kertas tersebut berisi tumpahan perasaan kakak yang bersedih karena harus menerima kenyataan ini.
“Ya Tuhan. Kenapa semua ini terjadi kepadaku? Aku merasa tak siap dengan kenyataan ini. Bukan ini yang aku inginkan, tapi bila ini yang telah Engkau gariskan, aku akan menerimanya dengan ikhlas. Aku tahu, mungkin usiaku tak lama lagi. Tak rela rasanya, bila aku harus meninggalkan orang-orang yang aku sayangi. Tapi aku sadar aku hanya bisa menyusahkan mereka. Ya Tuhan… Berilah aku kekuatan untuk menjalani ini semua.”
Tanpa kusadari air mata telah membasahi pipiku. Aku tak bisa membayangkan betapa terpukulnya hati kakakku harus menghadapi ini semua.
Tanpa kusadari, ternyata kak Ranty sudah duduk di sebelahku. Aku memeluk erat kak Ranty, aku berusaha meyakinkan kakakku agar tidak menyerah. “Kakak jangan menyerah. Ini bukanlah akhir dari segalanya. Banyak orang yang masih menyayangi kakak. Ada aku, Mama, kak Reza, Pak Angga dan masih banyak lagi. Masa depan kakak masih panjang. Aku yakin kakak pasti bisa. Kakak harus bisa bertahan, kakak pasti sembuh! Karena hidup itu sangat berharga kak”, hanya itu yang bisa aku sampaikan kepada kak Ranty. Namun, kak Ranty hanya diam saja. Ia hanya memperlihatkan senyum simpulnya kepadaku. Tapi aku tahu, hati kecil kak Ranty menangis. Mungkin kakak berusaha menyembunyikan rasa sedihnya padaku.
Semakin hari, keadaan kakak semakin parah. Tapi kakak masih saja ingin bersekolah. Sepertinya kakak ingin bertahan, kakak ingin menghadapi sampai tuntas. Kak Reza juga sudah tahu tentang masalah penyakit kakak. Walau demikian, kak Reza tidak menjauhi kak Ranty. Justru aku lihat mereka semakin dekat saja. Namun, dibalik kedekatan mereka berdua sepertinya ada salah seorang teman kakakku tidak menyukai hal ini. Namanya Fiona, ya dia memang terkenal dengan rasa dendamnya di sekolah. Dia adalah siswa yang paling killer di sekolah. Ia teman sekelas kak Ranty. Ditengah cobaan yang ia hadapi, ia harus sabar menghadapi Fiona.
Pada saat istirahat kak Ranty pergi ke toilet. Aku dan kak Reza sudah menunggu di tempat biasa, di pinggir kolam yang ada di taman sekolah. Aku dan kak Reza menggu cukup lama, tapi kak Ranty tak datang juga. Aku coba menyusul ke toilet. Hampir semua toilet perempuan terlihat kosong. Tapi, ada satu yang pintunya tertutup. Terdengar suara kak Ranty yang lemah meminta pertolongan. Aku tak bisa tinggal diam. Segera kubuka pintu toilet yang terkunci dari luar. Aku berpikir sejenak, pasti ini semua ulah Fiona. Fiona memang tak punya perasaan, teganya ia menyakiti kakakku. Fiona tak tahu apa yang tengah dirasakan oleh kakakku. Walaupun kakakku selalu terlihat tersenyum manistapi semua itu palsu. Dalam hati kecil kak Ranty sebenarnya ia begitu terpuruk. Aku heran dengan kakakku. Bisa-bisanya ia tersenyum ditengah cobaan yang ia hadapi.
Aku selalu memberi kakak semangat untuk bertahan hidup. Kakak masih punya masa depan, masih ada banyak orang yang menyayangi kakak. Sepertinya kakak tak ingin menyerah. Semuanya kakak hadapi dengan tabah. Tapi, semakin hari keadaan kakak semakin parah. Mama tidak mau penyakit kakak tambah parah lagi. Mama selalu rutin untuk mengajak kakak berobat.
Hari ini adalah jadwal kakak berobat. Aku tak sanggup melihat kakakku menghadapi semua ini sendirian. Kata dokter, penyakit kanker otak yang menyerang kakak sudah stadium tiga. Ini semua harus segera ditangani. Dokter meminta Mama untuk mengajak kakak berobat ke luar negeri. Karena disana kakak akan mendapat fasilitas pengobatan yang lebih terjamin. Kakak juga sudah tahu masalah penyakitnya yang semakin parah. Tapi, aku salut pada kakak. Masih seperti biasa, kak Ranty selalu tersenyum. Tersenyum diatas kesedihan. Aku tak mau kehilangan orang yang aku sayangi untuk yang kedua kalinya. Papaku sudah meninggal satu tahun yang lalu. Ia meninggalkan aku, kak Ranty, dan Mama karena terserang penyakit kanker hati stadium empat. Penyakit papa sudah sangat parah dan tidak bisa diselamatkan. Mungkin ini salah satu penyebab penyakit kanker yang juga meyerang kak Ranty, faktor keturunan. Untungnya, papa masih meninggalkan beberapa restaurant, villa, dan penginapan yang masih bisa dikelola Mama.
Mama sangat menyayangi kakak. Mama sudah memutuskan untuk pergi ke Singapura satu minggu lagi untuk menghantarkan kakak berobat. Tapi, mama melaang aku untuk ikut. Kata Mama, aku harus tetap tinggal untuk bersekolah. Hm… ya sudahlah… dengan sangat terpaksa aku tidak bisa menemani kak Ranty berobat. Aku sangat sedih, karena harus berpisah dengan kakak. Tapi aku sadar, ini demi kebaikanku dan juga kak Ranty. Sempat ada isak tangis saat kami bertiga harus berpisah di bandara. Namun, kakak tetap tersenyum. Sedangkan aku, tak sanggup menahan air mata ini.“ kakak cepat pulang, kakak harus sembuh! Semangat ya kak!” itulah kata-kata terakhir yang aku ucapkan pada kakak. “ya adikku sayang.. makasi udah ngasi kakak semangat. Kakak pasti kembali dalam keadaan sehat kembali. Jangan nakal ya adikku sayang! Kakak titip Reza sebentar”, sambung kakak.
Tak terasa perpisahan ini terjadi begitu cepat. Hari demi hari kulewati sendirian, tanpa kak Ranty. Tak ada lagi senyum manis nan tenang dari kak Ranty yang bisa kulihat. Demikian pula kak Reza. Sepertinya kak Reza sangat sedih karena harus berpisah dengan kak Ranty. Di sekolah, kak Reza terlihat tidak bersemangat. Ia sering duduk termenung sendirian di pinggir kolam. Rupa-rupanya kepergian kak Ranty ke Singapura menyisakan kesedihan yang mendalam bagi kak Reza. Ketika aku sedang makan siang di rumah, tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Dengan segera aku mengangkat telepon, siapa tahu ada yang penting. Ternyata, itu telepon dari Mama. Katanya, satu jam lagi Mama dan kak Ranty akan tiba di rumah. Sungguh tak terduga. Aku berteriak kegirangan karena sebentar lagi aku akan bertemu dengan kak Ranty dan Mamaku tercinta setelah beberapa bulan berpisah. Tanpa berpikir panjang, aku segera menelepon kak Reza untuk datang ke rumah. Kak Reza bertanya kepadaku, ada apa sehingga aku memintanya datang ke rumah. Tapi itu semua tak kujelaskan. Aku akan memberi tahu kak Reza setelah ia tiba di rumahku nanti.
Hanya sekejap, kak Reza telah sampai di rumahku. Aku menarik tangan kak Reza dengan nada kegirangan. Aku menjelaskan semuanya pada kaka Reza. Sepertinya kak Reza juga begitu gembira. Pasti sebelumnya ia tak pernah menduga tentang kedatangan kak Ranty hari ini. Aku dan kak Reza sudah tak sabar menunggu kedatangan kak Ranty dan Mama. Mondar-mandir seperti cacing kepanasan yang tak sabar menuggu kedatangan mereka berdua. Terutama kak Ranty. BACA JUGA:Cerita Inspiratif Alumni MBKM: Lanjut Studi di Inggris lewat Pengalaman Kampus Mengajar
Tiba-tiba ada suara mobil yang terdengar. Dengan cepat aku dan kak Reza keluar rumah. “kakaaakkk…!!!”, aku berteriak kegirangan dan segera menyambutnya dengan pelukan hangat. Kak Reza tampak senang. Kemudian aku, kak Ranty, kak Reza, dan Mama masuk ke rumah. Aku sangat heran dengan penampilan kak Ranty yang sekarang. Sepertinya ada sesuatu yang berbeda dari kakakku. Rambutnya… ya, rambutnya. Kenapa rambut kakakku menjadi pendek?. Aku bertanya kebingungan dalam hati. Setelah aku menanyakannya pada kakak, ternyata ini semua disebabkan karena pengobatan yang dilakukan kakak secara rutin. Bisa dibilang, semua orang yang menjalani pengobatan ini akan mengalami hal yang sama seperti kakakku. Terutama, kakak harus rela kehilangan mahkotanya yang panjang nan tebal itu. Rambut kakak sekarng tidak panjang seperti dulu. Kata kakak, dalam menjalani pengobatan ini, rambutnya menjadi rontok, sekujur tubuhnya menjadi sakit. Mungkin ini efek samping dari pengobatan tersebut. “ya sudah… kakak yang sabar ya! Yang penting sekarang, kakak sudah sembuh total. Nanti kan rambut kakak bisa panjang lagi”, kataku pada kak Ranty. “ya adik sayang… kakak bisa sembuh berkat dukunganmu juga. Kata-katamu benar, bertahanlah… karena hidup sangat berharga”, sambung kakak. “ehhemm… Ekhhemm…”, kak Reza menyela pembicaraan kami. Sepertinya kak Reza merasa dikacangin. Kemudian aku, kak Ranty, dan kak Reza pergi ke ruang tamu untuk berbincang-bincang. Sekedar mengobati rasa rindu kami yang telah lama berpisah beberapa bulan ini.
Sejak saat itu, tak ada lagi kesedihan di hati kami. Yang ada hanyalah tawa keceriaan di hati kami semua. Apabila ada rintangan, kami berusahan menghadapi dengan tenang. Tetaplah tersenyum… ingat! Ini bukanlah akhir dari segalanya, bertahanlah… Karena hidup sangat berharga. Masih ada masa depan yang panjang, pahit manis kehidupan yang menanti diambang pintu kedamaian.
End
Cerpen Karangan: Gusti Ayu Gayatri
Facebook: Gustiayu Gayatri
Nama lengkap saya Gusti Ayu Gayatri, biasa dipanggil Gayatri/Jay.
Cerpen Senyum Manis di Balik Air Mata merupakan cerita pendek karangan Gusti Ayu Gayatri, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.