RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Ungkapan klasik dari sejarawan dan politisi asal Inggris Lord Acton pada abad ke-19, "power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” atau “kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut sudah pasti korup,” masih menjadi realita yang harus diatasi.
Sebagian besar negara di dunia masih berkutat mencara cara memberantas praktik koruptif yang efektif termasuk Indonesia. Produk-produk hukum sudah banyak yang dibuat namun di rasa belum efektif, karena memerlukan peraturan lain yang mendukung.
Salah satunya dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, karena RUU itu bertujuan untuk mengatasi korupsi dengan memperkuat instrumen perampasan aset, terutama aset yang diduga hasil kejahatan seperti korupsi dan pencucian uang, tanpa harus menunggu vonis pengadilan terlebih dahulu.
Regulasi itu juga diperlukan untuk mengimbangi kekuasaan pelaku korupsi yang dapat menyalahgunakan posisi dan kekayaan mereka untuk menghambat penegakan hukum, sehingga RUU Perampasan Aset menjadi alat strategis untuk memulihkan kerugian negara dan menciptakan efek jera.
BACA JUGA:Pemerintah Persilakan DPR Bahas Draf RUU Perampasan Aset
BACA JUGA:Bahas RUU Perampasan Aset, Pemerintah Tunggu DPR
Pentingnya regulasi itu juga tergambar dari sejumlah kasus perampasan aset koruptor besar di tingkat internasional.
Pentingnya regulasi itu juga tercermin dari sejumlah kasus internasional, seperti kasus Sani Abacha di Nigeria yang berhasil memulihkan miliaran dolar aset negara yang disembunyikan di berbagai yurisdiksi, serta kasus Viktor Yanukovych di Ukraina yang menunjukkan kompleksitas pelacakan dan pemulihan aset korupsi lintas negara.
Pengalaman internasional membuktikan bahwa tanpa instrumen hukum yang kuat, upaya pemulihan aset sering terhambat oleh kerumitan birokrasi dan kurangnya kerja sama internasional.
Berikut adalah beberapa kasus perampasan aset koruptor terbesar di luar negeri, dikutip dari berbagai sumber.
BACA JUGA:Mampukah Prabowo Loloskan RUU Perampasan Aset?
BACA JUGA:DPRD Ditantang Bersepakat Tolak PPN 12 Persen dan Sahkan RUU Perampasan Aset
Kasus Sani Abacha (Nigeria)
Mantan Presiden Nigeria (1993–1998), , Sani Abacha. menggelapkan dana negara sekitar USD3–5 miliar. Dana itu disembunyikan di rekening bank di berbagai negara, termasuk Swiss, Luksemburg, dan Kepulauan Cayman, melalui perusahaan cangkang dan pencucian uang.
Setelah kematian Abacha pada 1998, pemerintah Nigeria bekerja sama dengan otoritas internasional untuk memulihkan aset.