Setelah prosesi bacca', dilanjutkan dengan allabian dedde, yaitu pemberkatan sesajen yang terdiri dari 12 jenis bahan, termasuk telur, beras putih, beras hitam, beras merah, daun sirih, ketan, dan pisang. Semua bahan ini ditempatkan dalam konre-konre, wadah yang terbuat dari anyaman daun kelapa.
Sesajen tersebut kemudian diletakkan di depan pohon besar di kawasan hutan adat, melambangkan hubungan erat antara manusia dan alam.
Pesan Pelestarian Alam
Setiap bahan yang digunakan dalam ritual ini memiliki makna tersendiri. Beras hitam melambangkan keteguhan dalam menjaga identitas budaya dari pengaruh luar.
Beras ketan putih mencerminkan kejernihan hati dan sikap adil, sementara beras ketan merah menjadi simbol perjuangan hingga titik darah penghabisan. Pisang yang digunakan adalah jenis khusus yang disebut ‘loka kattin’ atau ‘pisang kamppiung’, yang dipercaya sebagai pisang pertama yang turun ke bumi.
BACA JUGA:Dusun Wotawati Mengejar Sang Mentari
BACA JUGA:Menilik Tradisi Barapen : Tradisi Unik Bakar Batu Masyarakat Papua Jelang Perayaan Natal
Selain itu, ikan, udang, dan kepiting yang digunakan dalam ritual diambil dari sungai di kawasan hutan adat. Pengambilan hasil sungai ini hanya diperbolehkan saat ritual adat atas izin ammatoa.
Prosesi diakhiri dengan makan bersama, yang dimaknai sebagai doa untuk kemakmuran dan terhindarnya masyarakat dari bencana kelaparan.
Dikutip dari situs bulukumbakab.go.id, Profesor Yusran Jusuf, anggota Dewan Kebudayaan Kota Makassar, memberikan apresiasi tinggi terhadap pelaksanaan ritual ini. Menurutnya, andingingi memiliki makna mendalam terkait harmoni antara manusia dan alam.
“Saya merasa terkesan karena andingingi adalah ritual doa yang dipanjatkan untuk keseimbangan alam dan kedamaian lingkungan. Kehadiran pemerintah bersama masyarakat dalam acara ini memberikan suasana khidmat dan penuh makna,” ujar akademisi Unhas itu.
BACA JUGA:Memeluk Masa Lalu Merajut Masa Depan
BACA JUGA:Kacapi Buhun hingga Carita Pantun, Keluhuran Nilai Masyarakat Banten
Ia menambahkan bahwa pelestarian tradisi seperti andingingi sangat penting dalam menjaga budaya lokal sekaligus menciptakan kedamaian dalam masyarakat.
“Kita harus bangga dan terus menjaga tradisi ini agar tetap hidup, terutama dalam menjaga keseimbangan lingkungan.”
Ammatoa, pemimpin adat Kajang, juga berpesan agar masyarakat selalu menjaga kesopanan terhadap alam dan sesama manusia. “Dari sanalah tercipta keseimbangan,” pesannya.
Dengan rangkaian budaya yang semakin mendapat tempat di ajang Festival Pinisi, Bulukumba kini dikenal tidak hanya sebagai daerah wisata bahari, tetapi juga sebagai penjaga tradisi leluhur yang kaya nilai filosofi.