Kolaborasi RI-Rusia untuk Teknologi Kesehatan dan Pangan

Jumat 01 Nov 2024 - 20:21 WIB
Reporter : Redaksi
Editor : Ependi

RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Pemanfaatan teknologi nuklir di Indonesia sudah dimulai sejak 70 tahun silam.

Ketika itu, pada 1954, Presiden RI Ir Sukarno membentuk panitia untuk meneliti dampak dari radioaktif dan pemanfaatan tenaga nuklir.

Sampai akhirnya, pada 1964, dibentuklah Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) untuk membangun reaktor nuklir riset pertama di Asia Pasifik.

Saat ini, Indonesia mempunyai tiga reaktor riset yang dapat dimanfaatkan untuk riset bahan bakar nuklir, radiografi neutron, analisis aktivasi neutron, riset berkas neutron, pendidikan ahli nuklir hingga produksi radioisotop.

BACA JUGA:Perkembangan Teknologi, Modernisasi Pelayanan Dinilai Penting

BACA JUGA:Ketika Inovasi Teknologi Menjaga Akar Tradisi

Pertama, diresmikan pada 1965, Reaktor Bandung di Bandung, Jawa Barat dengan daya 2 MWth; Reaktor Kartini yang berlokasi di Yogyakarta, dengan daya 100 KWth mulai beroperasi 1979;  dan pada 1987 Reaktor G. A Siwabessy, Serpong, Tangerang Selatan mulai operasional dengan daya 30 MWth.

Potensi tenaga nuklir untuk energi maupun nonenergi di Indonesia amatlah besar. Menurut penelitian BATAN pada 2020, Indonesia memiliki bahan baku nuklir berupa uranium sebanyak 81.090 ton dan thorium sebanyak 140.411 ton.

Namun saat ini, pengembangan nuklir di Indonesia lebih banyak dimanfaatkan untuk produksi radioisotop, penelitian pangan, dan kesehatan. 

Pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pun sudah masuk dalam revisi Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

BACA JUGA:Generasi Muda Mesti Siap Ciptakan Terobosan Teknologi

BACA JUGA:Kementerian ESDM Lakukan Tiga Kerja Sama Teknologi, Guna Optimalkan Produksi Migas

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait Kebijakan Energi Nasional tersebut direncanakan selesai tahun ini. 

Sejak pemerintah membentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), maka lembaga ini fokus untuk mengintegrasikan penelitian dan pengembangan nuklir. Salah satu upayanya dengan menggandeng badan nuklir Rusia, Rosatom State Atomic Energy Corporation untuk mengembangkan teknologi produksi radioisotop dan radiofarmaka. Hal ini terungkap pada Pertemuan ke-2 Kelompok Kerja Bersama Penerapan Teknologi Nuklir Non-Energi. Pertemuan berlangsung di Kawasan Sains dan Teknologi BJ Habibie, Tangerang Selatan, Banten.

“Kita berharap kerja sama dengan Rosatom bisa mempercepat laju pengembangan teknologi dalam produksi radioisotop, yang menjadi concern (perhatian) kita, baik berbasis reaktor maupun akselerator,” ungkap Kepala Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimeteri (PRTRRB) BRIN Tita Puspitasari, dilansir laman BRIN.

Kategori :